ISRA' MI'RAJ

Acara Isra' Mi'raj Rayon Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab 30 Mei 2015 di Aula ASPI PMII

MAPABA KOMFAKTAR

Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) 2013 di Pond-Pest Madinatur Rahmah

BIMTEST KOMFAKTAR

Bimbingan Test Komisariat Fakultas Tarbiyah (KOMFAKTAR) 2013 @ganesha

Jumat, 25 September 2015

Jati Diri Islam Nusantara

Pembahasan tentang “Islam Nusantara” tidak henti-hentinya diperdebatkan, setiap kalangan dan tokoh masyarakat berbeda-beda dalam menyikapinya. kali M. Rikza Chamami, MSI menyampaikan jati diri Islam Nusantara dalam tulisannya sebagai berikut :
Terminologi “Islam Nusantara” akhir-akhir ini menjadi topik hangat yang tidak berhenti didiskusikan. Artinya bahwa Islam Nusantara tidak hanya sekedar wacana murahan, tetapi sebagai kajian keilmuan yang sangat berharga. Istilah ini semestinya sudah cukup lama diperbincangkan di dunia akademik. Dan akhir-akhir mengemuka kembali karena Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 pada 1-5 Agustus 2015 di Jombang mengangkat tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Setiap kader NU lewat berbagai majelis nahdliyyin selalu membincang tema besar yang diusung jam’iyyah Islam terbesar di Indonesia ini. Yang menjadi menarik adalah ketika topik Islam Nusantara bermula dari kajian akademik masuk ke dunia pesantren dan dunia maya. Muncullah berbagai tanggapan yang sangat beragam. Justeru dengan respon massif inilah, Islam Nusantara menjadi sangat menarik dan memikat.
Penulis pernah mengalami sendiri ketika berjumpa dengan Kyai yang mengajarku sejak kecil. Beliau bertanya panjang lebar soal Islam Nusantara tapi sudah dengan nada pesimis. Sebagai santri saya mendengarkan paparan beliau. Giliran akhir pembicaraan beliau bertanya dan menghentikan pembicaraan. Saya galau, mau menjawab dengan bahasa dosen pasti “berdosa” karena menggurui Kyai saya. Akhirnya kupakai bahasa santri dengan kromo inggil kujelaskan pelan-pelan Islam Nusantara. Dan beliau sangat bisa menerima. Sebab yang didengar sebelumnya ternyata beda dengan penjelasan saya.
Di dunia maya lebih parah lagi. Arena diskusi dan komentar bebas bermunculan. Dan pegiat medsos juga tidak kalah ketinggalan membincang Islam Nusantara. Ada yang positif dan tidak sedikit pula yang negatif dan nyinyir. Dan sudah bisa ditebak, siapa saja yang cocok dan tidak cocok. Namun menjadi tidak sehat ketika sudah muncul cibiran-cibiran khas “debat kusir” yang membuat penulis tidak tertarik lagi dengan diskusi bebas ala dunia maya. Namun itu menjadi catatan khusus bahwa masyarakat berhak untuk mengeluarkan ide-idenya.
Ibarat ada produk baru handphone atau laptop yang baru dipromosikan, disitulah mengundang respon. Dan disinilah ujian teori pertukaran (exchange theory) sosiologi muncul. Dimana manusia butuh timbal-balik. Pemodal menjual produk dan pembeli menikmati produknya. Pemodal untung dan pembeli berharap untung. Jika pembeli tidak merasa nyaman dengan produknya, maka ia akan merespon negatif. Sikap negatif ini jika disebarluaskan akan mengundang “cemooh” dan berharap ada “kebangkrutan” (bagi yang tidak suka produk itu).
Namun penulis meyakini, bahwa model timbal-balik dalam menggugah kembali gagasan Islam Liberal tidak berlaku demikian. Sebab ini merupakan sumbangsih NU dalam membangun Indonesia yang mengenang kembali sejarah Nusantara dan memberi kontribusi pada dunia Islam yang akhir-akhir ini selalu berkonflik. Sehingga, NU tidak menggunakan kapital yang bersifat materialistis. Dan NU mencoba memberikan jawaban terhadap makna gap mikro-makro yang selama ini terjadi. Sehingga bangunan pertukaran sosial ini tidak hanya diharapkan untuk internal NU, namun lebih meluas untuk bangsa Indonesia dan dunia.
Bukan Agama Baru
Istilah Islam Nusantara secara epistemologis sudah tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Sebab sudah terlalu banyak kupasan tentang Islam Nusantara. Yang perlu dipertegas adalah Islam Nusantara bukan ideologi baru, bukan pula “agama” baru dan bukan reinkarnasi Jaringan Islam Liberal (JIL). Terlalu murah rasanya, organisasi sebesar NU memberikan label Muktamar dengan tema Islam Nusantara hanya untuk pentas ideologi kiri.
Dan masyarakat sudah bisa menilai secara nyata kontribusi NU secara kelembagaan maupun individu warganya. NU sebagai jam’iyyah sejak lahirnya tahun 1926 meneguhkan sebagai lembaga agama, pendidikan, dakwah dan ekonomi yang menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Artinya bahwa bagi NU, NKRI harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Wajar saja, warga nahdliyyin memiliki tanggung jawab untuk merukunkan kembali bangsa Indonesia yang kian hari mulai diintrik untuk pecah. Dan anehnya lagi, perpecahan itu dipicu dari internal agama Islam.
Menjawab kekhawatiran itu, NU hadir memberikan jawaban dengan langgam Islam Nusantara. Dan rasa-rasanya, istilah Nusantara sendiri mulai diiris menjadi simplifikasi sebagai istilah murni budaya yang terpisah dari agama, hingga muncul tudingan bid’ah. Itu yang menjadi aneh. Ketika Islam Nusantara dijadikan sebagai label warna pemikiran NU dari sisi kebangsaan, justeru ditarik menjadi mainstream agama (baca: syari’ah). Disinilah yang menjadikan distorsi epistemologis dan perlu diluruskan dengan baik. Soal setuju atau tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, itu menjadi hak penikmat ilmu. Tapi bagi warga nahdliyyin, inilah jawaban kebangsaan yang dihadirkan di tengah arena Muktamar NU.
Pesan Mbah Hasyim
Penulis menjadi teringat dengan Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari yang diterjemahkan oleh KH Mustofa Bisri Rembang. Ada 35 petikan ayat yang disampaikan Kyai Hasyim. Kemudian dijelaskan: “Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal, persatuan dan kekompakan merupakan hal yang tidak seorang pun mengetahui manfaatnya. Betapa tidak, Rasulullah sudah bersabda yang artinya: Tangan Allah SWT bersama jama’ah. Apabila diantara jama’ah ada yang mengucilkan sendiri, maka setan pun akan menerkamnya seperti halnya serigala merekam kambing”.
Pesan Kyai Hasyim ini meneguhkan bahwa NU adalah jama’ah sekaligus jam’iyyah yang sangat cinta persatuan. Sangat tidak salah jika makna persatuan bangsa Indonesia dan dunia kemudian diderifasi dengan kalimat singkat dengan Islam Nusantara. Untuk lebih meyakinkan arti jatidiri Islam Nusantara ini, perlu dipahami dari empat sisi yang harus utuh dipegang—tidak boleh dipisah-pisahkan.
Pertama, Indonesia memiliki sejarah panjang yang lekat dengan perjuangan tokoh-tokoh Nusantara (nama populer sebelum Indonesia). Jadi kalau istilah Islam disambungkan dengan istilah Nusantara menjadi Islam Nusantara adalah Islam lokal yang menyejarah: mengenang, mengenal dan menghormati sejarah.
Kedua, Islam Nusantara menjadi karakteristik kehidupan agama Islam di Indonesia yang meneguhkan tradisi, budaya yang tidak terpisah dari substansi agama. Jadi model Islam bersyari’ah (bermadzhab) yang sangat peduli terhadap kondisi sosial, budaya dan perkembangan masyarakat—agar agama Islam tetap mengakar menjadi kebutuhan teologis dan mampu bersanding hidup dengan masyarakat yang beda dengan Islam.
Ketiga, Islam Nusantara adalah identitas Islam damai dan moderat. Damai sebagai aktualisasi agama Islam yang bermakna agama keselamatan dan kedamaian yang disebarkan melalui cara dakwah penuh senyuman. Dan Islam moderat sebagai bentuk pelaksanaan teknis beragama di tengah masyarakat Indonesia yang memang beragam agama, suku, ras dan golongan dengan bingkai negara Pancasila.
Dan keempat, Islam Nusantara sebagai ilmu pengetahuan. Di titik inilah yang perlu ditegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dibangun dari Islam Nusantara ini tidak akan selesai dikupas tuntas. Masih banyak lobang-lobang ilmu yang bisa dikupas. Wajar sekali jika Azyumardi Azra sebagai penggagas Islam Nusantara (versi ilmu pengetahuan) menunjukkan stimulus global dan lokal. Oleh sebab itu, marilah bersama diskusikan Islam Nusantara tanpa ada lelahnya. Selamat berdiskusi.
Sumber : dari sini

Kamis, 24 September 2015

SEJARAH




Pendirian PMII
Ide dasar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari adanya hasrat kuat para mahasiswa Nahdliyin untuk membentuk suatu wadah (organisasi) mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Sebelum berdirinya PMII, sudah ada organisasi mahasiswa Nahdliyin, namun masih bersifat lokal. Organisasi itu diantaranya Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) berdiri pada Desember 1955 di Jakarta. Di Surakarta dirikan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) pada tahun yang sama. Kemduian berdiri juga Persatuan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU) di Bandung. Selain organisasi tersebut, ada pula mahasiswa Nahdliyin yang tergabung pada Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang terwadahi pada departemen perguruan tinggi.
Adanya berbegai macam organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama ternyata tidak mampu membendung hasrat untuk berdirinya organisasi mahasiswa nahdliyin secara nasional. Hal itu terbukti pada Konferensi Besar IPNU pada tanggal 14-17 Maret 1960 di Kaliurang Yogyakarta disepakati untuk berdirinya organisasi kemahasiswaan Nahdliyin.
Kemudian dibentuklah panitia sponsor berdirinya organisasi mahasiswa Nahdliyin yang berjumlah 13 orang mahasiswa NU dari berbagai daerah. Ketiga belas panitia tersebut kemudian mengadakan pertemuan yang disebut dengan Musyawarah Mahasiswa NU. Pertemuan tersebut diselenggarakan pada tanggal 14-16 April 1960 di Gedung Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama (Gedung Yayasan Khadijah) Wonokromo Surabaya. Selanjutnya hasil musyawarah tersebut diumumkan di Balai Pemuda pada tanggal 21 Syawal 1379 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 17 April 1960. Maka mulai saat itulah PMII berdiri dan tanggal 17 April 1960 dinyatakan sebagai hari jadi PMII yang diperingati dengan istilah Hari lahir (Harlah).
Adapun ketiga belas mahasiswa NU sponsor atau panitia yang selanjutnya disepakati sebagai pendiri PMII yaitu:
1. Sahabat Chalid Mawardi (Jakarta)
2. Sahabat M. Said Budairy (Jakarta)
3. Sahabat M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. Sahabat Makmun Syukri (Bandung)
5. Sahabat Hilman Badrudinsyah (Bandung)
6. Sahabat H. Ismail Makky (Yogyakarta)
7. Sahabat Moensif Nachrowi ( Yogyakarta)
8. Sahabat Nuril Huda Suaiby (Surakarta)
9. Sahabat Laily Mansur (Surakarta)
10. Sahabat Abdul Wahab Jaelani (Semarang)
11. Sahabat Hisbullah Huda (Surabaya)
12. Sahabat M. Chalid Narbuko (Malang)
13. Sahabat Ahmad Hussein (Makasar)
Kepemimpinan PMII
Sejak beridiri, PMII telah dipimpin oleh Ketua Umum sebagai berikut:
1. Sahabat Mahbub Djunaidi (1960-1967)
2. Sahabat M. Zamroni (1967-1973)
3. Sahabat Abduh Paddare (1973-1977)
4. Sahabat Ahmad Bagja (1977-1981)
5. Sahabat Muhyiddin Arusbusman (1981-1985)
6. Sahabat Suryadharma Ali (1985-1988)
7. Sahabat M. Iqbal Assegaf (1988-1991)
8. Sahabat Ali Masykur Musa (1991-1994)
9. Sahabat A. Muhaimin Iskandar (1994-1997)
10. Sahabat Syaiful Bahri Anshori (1997-2000)
11. Sahabat Nusron Wahid (2000-2003)
12. Sahabat A. Malik Haramain (2003-2005)
13. Sahabat Hery Hariyanto Azumi (2005-2008)
14. Sahabat M. Rodli Kaelani (2008-20011)
15. Sahabat Addin Jauharudin (2011-2014)
16. Sahabat Aminuddin Ma’ruf (2014-sekarang)
mahbub-djunaidizamroni10-abduh8-surya7-iqbal6-ali-maskur5-muhaiminsaiful4-nusron3-malik2-hery
Hubungan Struktural PMII-NU
Saat didirikan pada tahun 1960, PMII merupakan Badan Otonom (Banom) dari NU sebagai induk organisasi. Perjalanan PMII sebagai underbow NU bertahan hinggal tahun 1972. Pada tahun itu PMII menyatakan diri sebagai organisasi independen yaitu tidak berafiliasi dengan organisasi manapun. Deklarasi Independensi PMII dicetuskan pada tanggal 14 Juli 1972 di Murnajati Lawang Malang Jawa Timur. Deklarasi itu kemudian dikenal dengan “Deklarasi Murnajati”.
Menyadari kultur dan historis PMII tidak bisa dipisahkan dengan NU, pada Kongres X tanggal 27 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dideklarasikan posisi “Interdependensi PMII-NU”. Selanjutnya untuk mempertegas posisi interdependen, pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PB PMII tanggal 24 Desember 1991 di Cimacan Jawa Barat dikeluarkan “Impelementasi Interdependensi PMII-NU” dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Ukhuwah Islamiyah
2. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
3. Mabadi Khoiru Ummah
4. Al-Musawah
5. Hidup berdampingan dan berdaulat secara penuh.
Format Profil PMII
Dekalarasi Format Profil PMII yang dicetuskan pada Kongres X tahun 1991 merupakan kristalisasi dari tujuan pergerakan sebagaimana tercantum dalam AD/ART yaitu: “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”.
Atas dasar itulah, PMII membakukan dan menetapkan format khidmatnya berupa:
 Motto PMII : Berilmu, Beramal dan Bertaqwa
 Tri Khidmah PMII : Taqwa, Intelektualitas dan Profesionalitas
 Tri Komitmen PMII : Kejujuran, Kebenaran dan Keadilan
 Eka Citra Diri PMII : Ulul Albab

Sumber : dari sini
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com